Pages

Sabtu, 05 Juni 2010

Jangan Anggap Enteng Anemia pada Anak

Adanya siklus menstruasi setiap bulan merupakan salah satu faktor penyebab perempuan mudah terkena anemia atau akrab dikenal dengan istilah kurang darah. Namun, anemia kini tak hanya diderita kaum perempuan, tetapi mulai banyak diderita anak-anak. Faktor penyebabnya adalah konsumsi makanan yang defisiensi zat besi dan terkena infeksi penyakit seperti cacing dan malaria.

Melihat dampaknya pada kecerdasan anak dan daya tahan tubuh, anemia bagi anak jangan dianggap enteng. Untuk itu, perlu pendeteksian lebih dini agar apa yang terjadi dapat diatasi dengan lebih baik.

"Angka kematian akibat ibu hamil anemia memang cukup tinggi. Bila penyakit tersebut menjangkiti bayi yang dikandungnya, hal itu akan menghambat perkembangan fisik dan intelektual anak," kata dr Pauline Endang SpGK, Kepala Instalasi Gizi Rumah Sakit Umum Fatmawati.

Menurut dr Pauline, bayi lebih berisiko terkena anemia di masa pertumbuhannya yang berjalan cepat, akibat tidak memperoleh masukan zat besi dalam jumlah yang cukup. Begitu juga dengan bayi yang berat badannya terlalu rendah atau bulan lahirnya kurang dari normal, mereka memiliki risiko menderita anemia, karena persediaan zat besi dalam tubuhnya hanya sampai umur dua bulan saja.

"Demikian halnya anak umur 1-3 tahun mudah sekali terserang anemia, karena anak pada usia tersebut sulit sekali mengonsumsi makanan yang mengandung banyak zat besi," tuturnya.



Dijelaskan, anemia adalah kondisi dimana kadar hemoglobin atau hemat okrit dalam darah kurang dari batas normal, yang sesuai usia (bayi dan anak) atau jenis kelamin (dewasa). Rendahnya kadar hemoglobin itu mempengaruhi kemampuan darah menghantarkan oksigen yang dibutuhkan untuk metabolisme tubuh yang optimal.

"Anemia defisiensi besi ini dapat diketahui dari pemeriksaan hemoglobin (HB). Jika HB kurang, dapat dikatakan anak tersebut menderita anemia. Karena fungsi HB adalah untuk membawa oksigen ke seluruh jaringan tubuh," ucapnya.

Karena zat besi berfungsi sebagai pembentuk hemoglobin, maka jenis anemia defisiensi besi ini merupakan jenis kasus anemia yang paling banyak ditemui. Data WHO menyebutkan sekitar 2 miliar penduduk dunia terkena penyakit tersebut.

Dr Pauline menambahkan, masalah anemia patut mendapat perhatian. Karena selama kurun waktu 2001-2003 tercatat ada sekitar 2 juta ibu hamil yang menderita anemia gizi, 350.000 bayi lahir dengan berat badan rendah, 5 juta balita menderita gizi kurang, serta 8,1 juta anak menderita anemia.

Pada anak berusia dua tahun, anemia bisa menyebabkan gangguan koordinasi dan keseimbangan. Sehingga anak kelihatan menarik diri dan selalu ragu. Hal tersebut bisa menyebabkan terhambatnya kemampuan anak dalam berinteraksi dengan temannya.

"Gejala yang ditimbulkan adalah anak terlihat lemah, lelah, letih, lesu, menurunnya daya pikir, mata berkunang-kunang, berkurangnya daya tahan tubuh dan keringat dingin," kata Pauline.

Bayi yang mengalami anemia umumnya lebih rewel, susah makan, kulit pucat, suhu tubuh kadang-kadang dingin dan daya tahan tubuh menurun yang ditandai dengan gampang jatuh sakit dibandingkan dengan anak sebayanya.

Anemia bisa menyebabkan kematian, tergantung pada penyebab dan derajatnya. Karena penderita anemia defisiensi besi mengalami penurunan daya tahan tubuh secara keseluruhan. Bila hal itu dibiarkan dalam waktu lama, bukan mustahil menyebabkan terjadinya gangguan mental pada anak.

"Anemia defisiensi juga bisa menimbulkan masalah pada detak jantung, yang pada akhirnya dapat menimbulkan kematian," ucap Pauline.

Di Indonesia, menurut konsultan tumbuh kembang anak Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung dr Kusnadi Rusmil SpA(K) MM, kebanyakan keluarga tidak menyadari anak-anaknya mengidap anemia. Data penelitian Batubara 2004 yang menunjukkan rata-rata anak Indonesia baik laki-laki maupun perempuan mempunyai berat dan tinggi di bawah nilai rata-rata standar.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Yayasan Kusuma Buana dari 3000 anak usia sekolah yang diperiksa, hampir separuhnya menderita anemia. "Hal itu berarti satu dari dua anak usia sekolah menderita anemia," katanya.

Dampaknya bisa terlihat saat anak memasuki usia pra sekolah dan usia sekolah. Anak akan mengalami gangguan konsentrasi, daya ingat rendah, kemampuan memecahkan masalah rendah, gangguan perilaku, dan tingkat IQ yang lebih rendah. Akibatnya adalah penurunan prestasi belajar dan kemampuan fisik anak.

"Anak usia sekolah mencapai 30 persen dari 217 juta penduduk Indonesia. Mereka diharapkan menjadi generasi penerus yang berkualitas. Tapi bagaimana jadinya jika anak sekolah tersebut banyak menderita anemia?" ujarnya.

Pemberian gizi yang cukup merupakan faktor utama dalam penanganan anak anemia. Pemberian preparat besi juga bisa dilakukan, namun sebaiknya dimulai sejak anak berusia enam bulan sampai tiga tahun. "Anak usia sekolah yang kecerdasannya rendah karena kurang zat besi bila diberikan tambahan zat besi tidak banyak manfaatnya," katanya.

Untuk menjamin perkembangan otak dan kecerdasan anak yang optimal, dr Kusnadi Rusmil menyarankan, agar bayi dan balita mulai umur enam bulan rutin diperiksa kadar zat besinya. "Bila kurang berikan tambahan zat besi dan perbaikan makanan. ASI tetap diteruskan sampai usia dua tahun," paparnya.

Untuk mencegah kekurangan zat besi pada bayi, sebaiknya ibu hamil dan calon ibu (remaja puteri) juga memeriksa kadar zat besinya. "Untuk ibu hamil sebaiknya diberikan tablet zat besi agar kebutuhan zat besi untuk janin tercukupi, terutama perkembangan otak dan darah," paparnya.

Faktor lain yang tak kalah penting adalah perilaku hidup bersih dan sehat, seperti membiasakan cuci tangan dengan sabun, imunisasi dasar balita, memantau berat badan bayi secara teratur serta membiasakan anak mengonsumsi sayuran hijau dan mengandung zat besi.

Khusus untuk anak sekolah, disarankan agar penganggulangan anemia dilakukan melalui program Usaha Kesehatan Sekolah yang melibatkan murid, guru, orangtua hingga penjual makanan untuk mensosialisasikan tentang cara hidup sehat agar terhindar dari anemia.

Zat besi paling banyak terkandung dalam kelompok lauk-pauk, seperti hati, daging sapi, telur, dan ikan sebagai sumber protein hewani yang mudah diserap. Dari kelompok zat tepung, dapat berupa gandum, jagung, kentang, ubi jalar, talas, beras merah atau putih, dan ketan hitam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar