Pages

Senin, 27 September 2010

Cegah Alergi Sejak Masa Kehamilan

Penyakit alergi pada anak-anak Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini jumlahnya semakin meningkat. Melonjaknya kasus alergi pada anak di Indonesia, selain disebabkan oleh faktor genetik, juga dipengaruhi faktor lingkungan dan gaya hidup orang tuanya.


"Penyakit alergi hanya menurun pada anak dengan bakat alergi yang disebut atopik. Sekarang banyak ibu bekerja, sehingga tidak bisa menyusui secara penuh selama 2 tahun. Sehingga, bayi diberi susu formula. Pada anak yang berbakat alergi, susu formula berbahan dasar susu sapi bisa jadi pencetus terjadinya alergi," kata Ketua Kelompok Kerja Alergi Imunologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDI), dr Zakiudin Munasir SpA (K) dalam diskusi media tentang alergi pada anak, di Jakarta, beberapa waktu lalu.


Ia menjelaskan, alergi merupakan reaksi kekebalan yang menyimpang dan menimbulkan gejala yang merugikan tubuh. Dalam tubuh terdapat lima jenis antibodi atau imunoglobulin, yaitu imunoglobulin G, A, M, E, dan D. Imunoglobulin E adalah antibodi yang banyak berperan pada reaksi alergi.


"Dalam tubuh penderita alergi, ada imunoglobulin E berkadar tinggi, terutama imunoglobulin E yang spesifik terhadap zat-zat tertentu pemicu reaksi alergi, seperti debu, bulu binatang, serbuk bunga atau makanan tertentu, seperti telur, susu, dan ikan laut," ujarnya.


Di Amerika Serikat dilaporkan angka kejadian alergi pada anak prasekolah 10 hingga 12 persen, dan pada usia sekolah 8,5 sampai 12,2 persen. Di Indonesia, angka kejadian alergi pada anak Indonesia belum banyak diteliti. Dari penelitian di Kelurahan Utan Kayu, Jakarta Pusat, ternyata 25,5 persen anak menderita alergi, antara lain gejala alergi pada hidung dan kulit.


"Sekitar 20 persen anak usia satu tahun pernah mengalami reaksi terhadap makanan yang diberikan, termasuk yang disebabkan reaksi alergi. Susu sapi merupakan protein asing utama bagi bayi pada bulan-bulan awal kehidupan yang dapat menimbulkan reaksi alergi pertama. Karena fungsi ususnya belum sempurna, protein susu sapi tidak bisa dipecah dengan sempurna," kata Zakiudin.


Protein susu sapi dapat menimbulkan alergi yang menetap sampai akhir masa kanak-kanak, baik dalam bentuk susu murni atau bentuk lain. Anak yang alergi susu sapi tidak selalu alergi terhadap daging sapi. "Gejala khas pada anak yang alergi susu sapi adalah diare dengan tinja berdarah. Kalau protein susu sapi sudah masuk ke dalam tubuh, kulit bisa kemerahan," paparnya.


Hal senada dikemukakan spesialis anak dari Klinik Alergi Rumah Sakit Bunda Jakarta, dr Widodo Judarwanto. Katanya, sistem kekebalan tubuh bayi akan melawan protein yang terdapat dalam susu sapi sehingga gejala-gejala reaksi alergi pun akan muncul. Terdapat lebih dari 40 jenis protein berbeda dalam susu sapi yang berpotensi menyebabkan sensitivitas, antara lain lactoglobulin dan casein.


Reaksi Cepat


Gangguan akibat alergi susu formula bisa timbul karena reaksi cepat atau timbulnya gejala kurang dari empat jam. Pada reaksi lambat atau gejala baru timbul setelah lebih dari empat jam. Tanda dan gejala alergi susu hampir sama dengan alergi makanan. Gangguan itu dapat mengganggu semua organ tubuh, terutama pencernaan, kulit, dan saluran napas.


Banyak penelitian terakhir mengungkapkan, gangguan saluran cerna kronis dengan berbagai mekanisme imunopatofisiologis dan imunopatobiologis dapat mengakibatkan gangguan neurofungsional otak. Gangguan fungsi otak itu dapat memengaruhi gangguan perilaku, seperti kurang konsentrasi, mudah emosi, gangguan tidur, keterlambatan bicara, gangguan konsentrasi, hingga memperberat gejala hiperaktif dan autis.


Zakiudin mengatakan, pencegahan alergi pada anak yang lahir dari keluarga yang mempunyai bakat alergi sebaiknya dimulai saat anak dalam kandungan. Ibu hamil yang punya riwayat alergi dalam keluarganya tidak perlu diet pencegahan terhadap makanan yang menimbulkan alergi untuk mencegah terjadinya kekurangan gizi dalam kandungan. Yang penting adalah menghindari asap rokok. "Jika tidak segera ditangani, alergi bisa merusak jaringan tubuh dan menimbulkan alergi lain," tutur Zakiudin.


Pemberian ASI eksklusif dapat mencegah terjadinya alergi di kemudian hari. Tindakan pencegahan terhadap makanan yang menimbulkan alergi perlu dilakukan oleh ibu menyusui dan dilanjutkan sampai bayi berusia satu hingga dua tahun. Selain menghindari makanan yang hiperalergenik, perlu juga dilakukan menghindari alergen yang berasal dari lingkungan, misalnya debu dan asap rokok.


Jika curiga adanya ketidakcocokan susu formula, orangtua sebaiknya tidak terlalu cepat memvonis susu sapi adalah penyebabnya. Widodo mengatakan, gangguan bisa timbul karena kandungan yang terdapat dalam susu formula, seperti laktosa, gluten, zat warna, aroma rasa, komposisi lemak, kandungan DHA, minyak jagung, dan minyak kelapa sawit. Dalam pemberian ASI, diet yang dikonsumsi ibu juga dapat mengakibatkan gangguan alergi.


Untuk memastikan apakah alergi susu sapi atau tidak, anak bisa menjalani pemeriksaan laboratorium. Jika perlu, konsultasikan kepada dokter spesialis alergi anak, gastroenterologi anak, atau metabolik dan endokrinologi anak. Yang penting, orangtua perlu hati-hati dalam memilih susu formula dan mencermati gangguan organ tubuh yang terjadi terus-menerus dalam jangka panjang, seperti batuk, sesak, diare, dan sulit buang air besar. (Tri Wahyuni)

Sindrom Darah Kental

Sindrom darah kental adalah penyakit autoimun yang menyebabkan darah menjadi kental. Sindrom yang dapat terjadi pada semua golongan usia ini pertama kali ditemukenali oleh Hughes sehingga kelainan ini dinamakan sindrom Hughes (Hughes Syndrome) dan oleh karena pada penderita sindrom ini ditemukan antibodi antifosfolipid di dalam darahnya, kelainan ini juga disebut sebagai sindrom antifosfolipid (Antiphospholipid Syndrome/APS)


Antibodi antifosfolipid merupakan salah satu faktor risiko trombosis dimana darah di dalam tubuh cenderung kental dan mudah membeku sehingga dapat menyebabkan sumbatan di dalam pembuluh darah nadi (arteri) maupun pembuluh darah balik (vena). Keberadaan antibodi terhadap fosfolipid ini dapat diketahui melalui pemeriksaan antibodi dalam darah dengan mendeteksi adanya Antibody Anticardiolipin (ACA) dan Lupus Anticoagulan (LA). Adanya antibodi ini pada seseorang tidak serta merta atau tidak secara absolut menunjukkan bahwa akan terjadi pembekuan darah, namun kemungkinan terjadinya pembekuan darah akan lebih besar daripada orang lain. Banyak individu dengan antibodi ini tidak mengalami sumbatan pembuluh darah (trombosis), ada yang baru akan mengalami gejala akibat trombosis suatu saat kemudian, namun ada pula yang menunjukkan gejala sindrom darah kental ini di usia muda. Seseorang harus memenuhi beberapa kriteria tertentu untuk didiagnosis menderita sindrom darah kental.


Terdapat sejumlah penyebab kecenderungan terjadinya pembekuan darah selain sindrom ini. Perlu pula diketahui faktor lain yang dapat menimbulkan trombosis seperti merokok, imobilisasi (tirah baring lama akibat sakit, perjalanan panjang dengan kendaraan/pesawat lebih dari 6 jam, dan sebagainya), dehidrasi, obat kontrasepsi hormonal, dan penyakit autoimun lain. Selain itu, terdapat kecenderungan genetik atau keturunan dalam kasus darah kental.


Akibat darah kental, pasokan darah yang membawa oksigen, zat-zat nutrisi, dan lain-lain ke organ dan jaringan di dalam tubuh dapat berkurang bahkan terhenti sama sekali, -tergantung pada tingkat keparahan kelainan tersebut-, sehingga menimbulkan gangguan pada berbagai organ di dalam tubuh. Gejala pada otak berupa sakit kepala atau migren berulang, vertigo, kejang, daya ingat menurun, bahkan strok yang tidak lazim pada usia 40-an. Gejala pada mata dapat menyebabkan penglihatan kabur hingga buta mendadak. Pada telinga dapat terjadi pendengaran berkurang bahkan tuli mendadak. Gejala pada jantung dapat berupa serangan jantung. Organ lain seperti ginjal, hati, paru-paru juga dapat mengalami trombosis, demikian pula pada kulit dan vena dalam di lengan atau kaki.


Khusus pada perempuan, sindrom ini dapat menyebabkan kesuburan berkurang, keguguran berulang, janin tidak berkembang bahkan meninggal dalam kandungan, preeklamsia-eklamsia, dan trombosis vena kaki pada saat mulai menggunakan alat kontrasepsi hormonal (misalnya pil KB). Pada masa kehamilan darah secara alamiah menjadi sedikit lebih kental dibandingkan saat tidak hamil. Hal ini ditambah dengan adanya antibodi antifosfolipid akan menyebabkan darah sulit mencapai pembuluh-pembuluh darah kapiler yang kecil di ari-ari (plasenta), mengakibatkan aliran darah ke janin berkurang sehingga dapat terjadi keguguran dan kematian janin.


Sindrom darah kental dapat diobati. Obat-obatan yang lazim digunakan adalah Aspirin dosis rendah (75-100 mg/hari), Warfarin, dan Heparin (Unfractionated Heparin/UFH atau Low Molecular Weight Heparin/LMWH). Aspirin dosis rendah efektif untuk mengurangi kelengketan trombosis, sedangkan Warfarin dan Heparin bermanfaat untuk mengencerkan darah (antikoagulan).


Warfarin berupa tablet yang diminum. Dosis Warfarin yang diberikan pada penderita ditentukan secara uji coba dengan titrasi sampai didapatkan dosis yang dapat membuat darah menjadi encer tetapi tidak menyebabkan komplikasi perdarahan. Pengukuran yang digunakan adalah International Normalized Ratio/INR) yang membandingkan darah pasien dengan darah normal, semakin tinggi rasio, darah semakin kurang kental (semakin encer). Pengukuran INR tersebut dilakukan secara berkala dan dicatat dalam kartu catatan khusus mengenai dosis antikoagulan dan hasil INR. Umumnya diharapkan target INR antara 2-3.


Heparin, baik UFH maupun LMWH, diberikan lewat suntikan/injeksi. LMWH dapat disuntikkan sendiri oleh penderitanya dengan mudah menggunakan jarum suntik kecil yang telah tersedia dalam paket obatnya. Heparin digunakan pada tiga kondisi utama, yakni segera setelah terjadinya trombosis karena mula kerjanya cepat, menjelang operasi atau melahirkan karena kerja obat dapat dihentikan dan dimulai lebih cepat daripada Warfarin, dan digunakan bila diperlukan pada kehamilan karena Warfarin dapat berbahaya dan bersifat racun bagi perkembangan janin pada masa kehamilan tertentu.


Bila kontrol dengan obat yang tepat tercapai, penderita sindrom darah kental dapat kembali hidup normal.

Asma pada Kehamilan

Asma merupakan salah satu kondisi medis kronik yang kerap dijumpai pada kehamilan dengan prevalensi asma pada kehamilan sebesar 1-4 persen. Asma didefinisikan sebagai suatu penyakit peradangan (inflamasi) kronik saluran napas (saluran tracheobronchial) yang ditandai oleh peningkatan respons saluran napas terhadap berbagai stimulus (rangsangan). Asma seringkali berkaitan dengan riwayat alergi pada pasien dan/ atau keluarganya.


Pada asma terjadi hambatan aliran udara pernapasan yang bersifat reversibel dengan episode serangan asma ditingkahi oleh periode bebas gejala asma. Peradangan saluran napas menyebabkan menyempitnya diameter lumen saluran napas akibat kontraksi otot polos, bendungan pembuluh darah, pembengkakan dinding bronchial, dan sekresi mukus yang kental.


Gejala-gejala asma antara lain meliputi batuk, sesak napas, napas berbunyi, dan episode kambuhan gejala serangan asma. Pemeriksaan fisik dapat normal selama periode remisi (tidak sedang serangan asma atau selama periode bebas gejala asma). Pencetus asma  meliputi pajanan terhadap berbagai alergen (tungau debu rumah, debu, bulu binatang, jamur, dll), zat iritan (asap rokok, asap dari kayu yang terbakar, polusi udara, bau yang kuat seperti parfum, dll), kondisi medis (influenza, infeksi saluran pernapasan baik akibat bakteri maupun virus, refluks gastro-esofagus/ regurgitasi isi lambung ke esofagus atau saluran makanan, dll) obat-obatan (aspirin, obat-obat anti inflamasi  non-steroid, dll), olahraga, stres emosional, dan perubahan cuaca (terutama udara dingin).


Pengaruh kehamilan terhadap asma tidak bisa diprediksi. Diperkirakan 1/3 perempuan hamil yang telah menderita asma sebelum hamil mengalami perburukan gejala asmanya, 1/3 kasus mengalami perbaikan, dan 1/3 kasus lainnya tidak mengalami perubahan gejala asma selama kehamilan. Perempuan dengan asma berat dan/ atau asma yang terkontrol buruk memiliki risiko tinggi untuk terjadinya komplikasi kehamilan (seperti pre-eklampsia, perdarahan rahim, dan komplikasi saat melahirkan) dan pengaruh buruk pada janin (seperti kematian perinatal, pertumbuhan janin terhambat, kelainan kongenital, lahir prematur, berat lahir rendah, dan kekurangan oksigen). Pada saat ibu mengalami serangan asma, janin mungkin tidak cukup mendapatkan oksigen sehingga dapat menyebabkan bahaya pada janin. Semakin berat asma, semakin besar risiko untuk janin.


Oleh karena itu, seyogianya perempuan hamil yang menderita asma tidak menghentikan pengobatan asmanya tanpa berkonsultasi ke dokter. Tatalaksana asma untuk pasien rawat jalan sama antara pasien asma yang hamil dan yang tidak hamil. Inhaler berisi obat agonis beta-adrenergik yang bekerja untuk memperbaiki hambatan aliran udara merupakan terapi utama untuk mengatasi serangan asma dan mengatasi asma ringan. Untuk kasus asma persisten sedang, obat tersebut dikombinasikan dengan inhaler berisi obat kortikosteroid yang digunakan untuk pencegahan jangka panjang dan mengontrol gejala asma. Obat kortikosteroid tersebut mencegah pembengkakan dan sekresi mukus yang terjadi akibat peradangan saluran napas pada pasien asma.


Upaya untuk mencegah serangan asma sangat perlu dilakukan dengan cara mencegah pajanan terhadap pemicu asma. Berhenti merokok, hindari berada di sekitar orang yang sedang merokok, hindari makan dalam jumlah yang banyak atau langsung berbaring setelah makan jika memiliki gejala refluks lambung-esofagus, jauhi orang yang sedang menderita influenza atau infeksi lainnya, hindari berbagai hal yang telah diketahui dapat menyebabkan alergi, dan hindari pemicu asma yang sudah diketahui. Jika terjadi serangan asma segera mencari pertolongan medis ke instalasi gawat darurat rumah sakit terdekat.

Diabetes Melitus Gestasional

Diabetes melitus gestasional (DMG) didefinisikan sebagai suatu gangguan toleransi glukosa yang timbul atau pertama kali dideteksi pada saat kehamilan. Kondisi ini terjadi pada 3-8% perempuan hamil. DMG merupakan salah satu faktor risiko terjadinya komplikasi pada janin dan berkaitan dengan timbulnya diabetes melitus (DM) tipe 2 di masa yang akan datang bagi perempuan yang pernah didiagnosis DMG.


Seperti diketahui penyebab terjadinya DM adalah adanya resistensi insulin dan gangguan (disfungsi)  sel â (sel beta) kelenjar pankreas. Kehamilan dapat dianggap sebagai suatu uji stres metabolik dan mampu mengungkap adanya resistensi insulin dan disfungsi sel â kelenjar pankreas pada perempuan tersebut. Plasenta (ari-ari) ibu memproduksi berbagai hormon, seperti kortisol, prolaktin, dan hormon pertumbuhan (growth hormone) yang berkontribusi untuk terjadinya resistensi insulin selama kehamilan. Resistensi insulin tersebut umumnya mulai terjadi pada trimester kedua dan terus berlanjut sepanjang sisa masa kehamilan. Berdasarkan penelitian, perempuan dengan DMG ternyata derajat terjadinya resistensi insulin dan gangguan sel â melakukan kompensasi untuk meningkatkan sekresi insulin lebih berat dibandingkan perempuan hamil yang normal.


Kriteria diagnosis World Health Organization (WHO) untuk menegakkan diagnosis adanya DMG berdasarkan pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan memeriksa kadar glukosa puasa dan kadar glukosa darah 2 jam pasca pembebanan 75 gram glukosa (pembebanan 75 gram gula pasir). Seorang perempuan hamil dinyatakan menderita DMG jika didapatkan kadar glukosa puasa lebih dari 126 mg/dL atau kadar glukosa darah 2 jam pasca pembebanan 75 gram glukosa lebih dari 140 mg/dL.


Berikut ini beberapa hal yang perlu dilakukan dalam pemeriksaan TTGO:




  • Makan seperti biasa selama 3 hari sebelumnya

  • Kegiatan jasmani seperti biasa

  • Puasa 10-12 jam

  • Periksa glukosa darah puasa

  • Minum larutan gula dalam waktu 5 menit (75 gram glukosa/gula pasir dalam 250 ml air)

  • Periksa glukosa darah 2 jam pasca pembebanan glukosa

  • Selama menunggu 2 jam, pasien harus istirahat, tidak makan, dan tidak merokok



Komplikasi pada janin terkait dengan DMG antara lain meliputi makrosomia (berat lahir bayi lebih dari 4 kg), hipoglikemia (kadar glukosa darah rendah) pada bayi baru lahir, kematian janin dan bayi baru lahir, malformasi kongenital (cacat tubuh), bayi kuning, hipokalsemia, dan sindrom gawat napas pada bayi baru lahir. Komplikasi pada ibu terkait dengan DMG antara lain hipertensi, preeklamsia, dan peningkatan risiko melahirkan dengan operasi sectio caesaria akibat pertumbuhan janin yang berlebihan (makrosomia). Makrosomia seringkali menyebabkan bahu janin sulit untuk melewati jalan lahir (distosia bahu) sehingga harus dilahirkan dengan operasi sectio caesaria.


Penapisan faktor risiko untuk terjadinya DMG pada perempuan hamil seyogianya dilakukan pada saat kali pertama pasien memeriksakan kehamilannya. Faktor risiko tersebut antara lain berat badan yang sangat berlebihan (obesitas), riwayat DMG pada kehamilan sebelumnya, riwayat intoleransi glukosa atau glikosuria (glukosa dalam air seni), atau riwayat keluarga dengan DM tipe 2 . Jika seorang perempuan hamil memiliki faktor risiko tinggi untuk timbulnya DMG, pemeriksaan TTGO harus sesegera mungkin dilakukan. Jika pemeriksaan awal tidak menunjukkan adanya DMG, harus dilakukan pemeriksaan TTGO ulang pada pasien tersebut pada saat kehamilan berusia 24-28 minggu. Jika risiko untuk terjadinya DMG adalah moderat, pasien seyogianya melakukan pemeriksaan TTGO pada saat kehamilan berusia 24-28 minggu.


Memonitor kadar glukosa darah secara berkala sangat penting dalam penatalaksanaan DMG agar target kadar glukosa darah puasa kurang darii 95 mg/dL dan kadar glukosa darah 2 jam setelah makan lebih dari 120 mg/dL dapat tercapai dan dipertahankan. Terapi utama untuk mengontrol kadar glukosa darah pada DMG adalah dengan pengaturan makanan/ diet (terapi nutrisi medik). Jika kadar glukosa darah tidak dapat dikontrol dengan diet yang telah ditentukan atau jika terdapat bukti bahwa pertumbuhan janin sudah berlebihan (taksiran berat janin sesuai masa kehamilan melebihi dari yang seharusnya) maka diperlukan pemberian insulin pada penderita DMG tersebut. Obat diabetes yang diminum (obat hipoglikemik oral/ OHO) tidak direkomendasikan untuk diberikan pada perempuan hamil yang menderita DMG.


Pemantauan penderita DMG pasca melahirkan sangat penting. Status kadar glukosa darah seyogianya dimonitor pada waktu 6 minggu atau lebih pasca melahirkan dan jika hasilnya normal, kadar glukosa darah selanjutnya dipantau setiap 3 tahun. Hal ini penting dilakukan oleh karena adanya peningkatan risiko untuk terjadinya DM tipe 2 di kemudian hari pada perempuan dengan riwayat DMG.

Asuhan Sebelum Persalinan

1. Apa itu Asuhan Sebelum Persalinan?



  • Suatu kunjungan ke tenaga kesehatan untuk mengevaluasi kesehatan ibu dan perkembangan fetus/janin. Pada Asuhan Sebelum Persalinan juga akan diberikan konseling mengenai persiapan dan perawatan sebelum dan setelah persalinan.


2. Kenapa harus ikut Asuhan Sebelum Persalinan?



  • Agar ibu hamil sampai akhir kehamilan tetap sehat atau menjadi lebih sehat.

  • Agar adanya kelainan fisik atau psikologik dapat ditemukan dini dan diobati.

  • Agar ibu melahirkan tanpa kesulitan dan bayi yang dilahirkan sehat fisik dan mental.


3. Bagaimana Asuhan Sebelum Persalinan dilakukan?



  • Dengan menanyakan keadaan medis ibu dari gejala-gejala yang menganggunya atau keadaan non-medis yang dianggap berkaitan oleh dokter.

  • Dengan melakukan pemeriksaan obstetrik (kebidanan). Hal ini dilakukan untuk mengetahui tanda-tanda kehamilan, usia kehamilan dan penyakit/kelainan alat reproduksi serta mengevaluasi jalan lahir.

  • Dengan melakukan pemeriksaan fisik lainnya. Untuk mengetahui keadaan-keadaan lain yang dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan kehamilan.

  • Dengan melakukan pemeriksaan laboratorium. Untuk mendapatkan data penunjang mengenai keadaan fisiologik ibu dan atau janin.

  • Dengan melakukan pemeriksaan ultrasonografi. Hal ini dilakukan terutama bagi ibu dengan kehamilan risiko tinggi.

  • Dengan melakukan pemeriksaan penunjang lainnya yang dianggap perlu oleh dokter.


4. Kapan sebaiknya melakukan Asuhan Sebelum Persalinan?



  • Dapat dilakukan sebelum ibu hamil. Sehingga dapat diprogram kehamilannya dengan mengurangi faktor risiko, meningkatkan gaya hidup sehat dan kesiapan kehamilan.

  • Umumnya dilakukan setelah mengetahui ibu hamil kemudian berkunjung tiap 4 minggu hingga usia kehamilan 28 minggu, tiap 2 minggu hingga usia kehamilan 36 minggu dan setelahnya dilakukan tiap minggu. Akan tetapi kunjungan dapat menjadi lebih jarang pada kehamilan tidak berkomplikasi dan lebih sering pada kehamilan berkomplikasi.


5. Siapa yang berkompeten menolong Asuhan Sebelum Persalinan?



  • Dokter spesialis obstetri dan ginekologi.

  • Bila tidak dapat menemui Dokter spesialis obstetri dan ginekologi maka dapat dilakukan oleh dokter umum, bidan atau tenaga kesehatan lain yang dianggap mampu.

Hipertensi pada Kehamilan

Hipertensi merupakan salah satu masalah medis yang kerapkali muncul selama kehamilan  dan dapat menimbulkan komplikasi pada 2-3 persen  kehamilan. Hipertensi pada kehamilan dapat menyebabkan morbiditas/ kesakitan pada ibu (termasuk kejang eklamsia, perdarahan otak, edema paru (cairan di dalam paru), gagal ginjal akut, dan penggumpalan/ pengentalan darah di dalam pembuluh darah) serta morbiditas pada janin (termasuk pertumbuhan janin terhambat di dalam rahim, kematian janin di dalam rahim, solusio plasenta/ plasenta terlepas dari tempat melekatnya di rahim, dan kelahiran prematur). Selain itu, hipertensi pada kehamilan juga masih merupakan sumber utama penyebab kematian pada ibu.


Hipertensi pada kehamilan dapat diklasifikasikan dalam 4 kategori, yaitu:




  1. Hipertensi kronik: hipertensi (tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg yang diukur setelah beristirahat selama 5-10 menit dalam posisi duduk) yang telah didiagnosis sebelum kehamilan terjadi atau hipertensi yang timbul sebelum mencapai usia kehamilan 20 minggu.

  2. Preeklamsia-Eklamsia: peningkatan tekanan darah yang baru timbul setelah usia kehamilan mencapai 20 minggu, disertai dengan penambahan berat badan ibu yang cepat akibat tubuh membengkak dan pada pemeriksaan laboratorium dijumpai protein di dalam air seni (proteinuria). Eklamsia: preeklamsia yang disertai dengan kejang.

  3. Preeklamsia superimposed pada hipertensi kronik: preeklamsia yang terjadi pada perempuan hamil yang telah menderita hipertensi sebelum hamil.

  4. Hipertensi gestasional: hipertensi pada kehamilan yang timbul pada trimester akhir kehamilan, namun tanpa disertai gejala dan tanda preeklamsia, bersifat sementara dan tekanan darah kembali normal setelah melahirkan (postpartum). Hipertensi gestasional berkaitan dengan timbulnya hipertensi kronik suatu saat di masa yang akan datang.


Preeklamsia terjadi pada kurang lebih 5% dari seluruh kehamilan, 10% pada kehamilan anak pertama, dan 20-25% pada perempuan hamil dengan riwayat hipertensi kronik sebelum hamil. Faktor risiko ibu untuk terjadinya preeklamsia antara lain meliputi kehamilan pertama, pasangan/ paternitas baru, usia lebih muda dari 18 tahun atau lebih tua dari 35 tahun, riwayat preeklamsia pada kehamilan sebelumnya, riwayat keluarga dengan preeklamsia, obesitas/ kegemukan, dan selang waktu jarak antar kehamilan kurang dari 2 tahun atau lebih dari 10 tahun.


Dasar penyebab preeklamsia diduga adalah gangguan pada fungsi endotel pembuluh darah (sel pelapis bagian dalam pembuluh darah) yang menimbulkan vasospasme pembuluh darah (kontraksi otot pembuluh darah yang menyebabkan diameter lumen pembuluh darah mengecil/ menciut). Perubahan respons imun ibu terhadap janin/ jaringan plasenta (ari-ari) diduga juga berperan pada terjadinya preeklamsia. Kerusakan endotel tidak hanya menimbulkan mikrotrombosis difus plasenta (sumbatan pembuluh darah plasenta) yang menyebabkan plasenta berkembang abnormal atau rusak, tapi juga menimbulkan gangguan fungsi berbagai organ tubuh dan kebocoran pembuluh darah kapiler yang bermanifestasi pada ibu dengan bertambahnya berat badan ibu secara cepat, bengkak (perburukan mendadak bengkak pada kedua tungkai, bengkak pada tangan dan wajah), edema paru, dan/ atau hemokonsentrasi (kadar hemoglobin/ Hb lebih dari 13 g/dL). Plasenta yang tidak normal akibat mikrotrombosis difus, akan menurunkan aliran darah dari rahim ke plasenta. Hal tersebut akan memengaruhi kehidupan janin dan bermanifestasi secara klinis dalam bentuk pertumbuhan janin terhambat di dalam kandungan/ rahim dan oligohidramnion (cairan ketuban sedikit).


Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan di dalam tulisan di atas, pemeriksaan kehamilan secara berkala sangat penting pada semua ibu hamil untuk mendeteksi adanya hipertensi pada kehamilan sehingga dapat diberikan tatalaksana yang tepat. Lebih lanjut, perempuan yang menderita hipertensi pada kehamilan memerlukan tindak lanjut medis atau dimonitor kondisi medisnya setelah melahirkan.



Bagaimana mencegah penularan ke bayi


Upaya pencegahan penularan infeksi hepatitis virus B atau C ke janin dari seorang ibu yang mengidap penyakit tersebut merupakan hal penting. Bayi yang terinfeksi virus hepatitis B atau C dari ibunya, walaupun umumnya tidak bergejala namun si bayi tersebut ketika dewasa nanti lebih berisiko untuk mengalami hepatitis virus kronik, beserta komplikasinya berupa sirosis dan kanker hati. Tentu hal ini tidak kita harapkan terjadi bukan? Bagaimana mencegah atau paling tidak menurunkan risiko penularan ke janin?


Dari kedua jenis hepatitis yang sering menjadi kronik, hanya hepatitis B yang dapat dilakukan upaya pencegahan dengan imunisasi. Bila seorang ibu hamil diketahui mengidap hepatitis B, yang umumnya hasil laboratorium menunjukkan HBsAg-nya positif, maka ketika si bayi lahir secepatnya bayi tersebut diberikan imunisasi pasif dengan imunoglobulin hepatitis B (HBIG) pada 12 jam pertama kelahiran dan dilanjutkan dengan 3 kali vaksinasi hepatitis B, yaitu pada minggu pertama kelahiran, satu bulan kemudian, dan 6 bulan kemudian. Dengan melakukan upaya seperti di atas risiko tertularnya hepatitis B seorang bayi dari ibunya bisa ditekan hingga di bawah 3%.


Sayangnya upaya serupa tidak dapat dilakukan untuk infeksi akibat virus hepatitis C. Hingga saat ini belum ditemukan vaksinasi yang cukup efektif untuk mencegah mencegah penularan infeksi hepatitis virus C dari ibu ke anak. Risiko penularan infeksi hepatitis B atau C dari ibu ke anak dikatakan tidak berbeda bila dilihat dari cara melahirkan, baik persalinan normal maupun dengan operasi.



Bagaimana agar kita tidak terinfeksi hepatitis


Mencegah lebih baik daripada mengobati. Pemeo itu masih terus menjadi pegangan bagi siapa pun. Bila di atas tadi kita sudah berbicara mengenai pencegahan infeksi hepatitis dari ibu ke anak, maka yang tidak kalah pentingnya adalah mencegah supaya seorang ibu hamil tidak tertular hepatitis.


Untuk dapat mencegah penularan hepatitis kita harus mengetahui bagaimana virus hepatitis dapat menular, dan apa saja faktor-faktor risikonya. Di atas telah disinggung bahwa secara umum penularan dapat terjadi melalui 2 jalur: melalui makanan/minuman atau melalui cairan tubuh. Virus hepatitis A dan E ditularkan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi, sehingga menjaga higiene perseorangan maupun lingkungan merupakan cara yang paling efektif. Sementara virus hepatitis B, C, dan D ditularkannya melalui cairan tubuh, yaitu melalui jarum suntik yang terkontaminasi virus hepatitis, transfusi dengan darah yang terkontaminasi, atau berhubungan seksual dengan orang yang mengidap hepatitis.


Upaya imunisasi dapat pula dilakukan sebelum seseorang menderita hepatitis. Hingga saat ini hanya hepatitis virus A dan B saja yang dapat dicegah dengan imunisasi. Imunisasi hepatitis B sudah menjadi program nasional, dan diharapkan semua bayi yang baru lahir sudah mendapatkan imunisasi ini. Sementara hepatitis A masih menjadi imunisasi tambahan. Bila seseorang yang belum pernah mendapatkan vaksin hepatitis B mengalami kejadian yang diduga akan menularkan hepatitis B, seperti tertusuk jarum yang terkontaminasi atau berhubungan seksual dengan seseorang yang terinfeksi, maka dapat diberikan imunisasi pasif yang disebut imunoglobulin hepatitis B (HBIG). HBIG ini akan memberikan perlindungan langsung sesaat setelah disuntik, sebab vaksin hepatitis B biasa membutuhkan waktu beberapa minggu untuk memberikan perlindungan yang efektif. HBIG dapat diberikan pada ibu hamil.

NGOROK Bukan Pertanda Tidur Nyenyak

Ada pemahaman yang salah di masyarakat bahwa seseorang yang tidur ngorok menandakan ia tidur nyenyak. Sebenarnya, ngorok merupakan salah satu gejala atas adanya gangguan di saluran pernapasan. Gangguan itu bisa terjadi karena saluran napas tersumbat oleh gumpalan lemak pada mereka yang kegemukan, tumor, atau ada pembengkakan di saluran pernapasan. Bila tidak diatasi, ngorok atau sleep apnea itu bisa menurunkan kualitas hidup penderitanya.


"Biasanya penderita sleep apnea ini tidurnya tidak pernah berkualitas. Bangun tidur bukannya segar, malah lemas dan mengantuk karena oksigen yang masuk ke dalam tubuh tidak lancar," kata dr Chandra Yoga Aditama, SpP, Direktur RS Persahabatan, dalam penjelasannya kepada wartawan terkait dengan digelarnya pertemuan ilmiah pulmonologi dan ilmu kedokteran respirasi (PIPKRA) 2006, di Jakarta, Jumat (10/2).


Pada kesempatan itu, dr Chandra Yoga didampingi dr M Arifin Nawas SpP, ketua panitia penyelenggara dan dr Elisna Syahruddin, SpP, ketua seksi ilmiah.


Dr Chandra menjelaskan, sleep apnea terjadi karena waktu tidur otot-otot dari lidah bagian belakang dan sekitarnya menjadi terlalu "relaks" sehingga bergerak kebelakang dan menutup saluran pernapasan. Kondisi itu membuat seseorang ngorok (snoring), bahkan ada yang tidak bernapas untuk beberapa detik. Akibatnya, terjadi penurunan kadar oksigen dalam darah. Naiknya kadar CO2 dalam darang merangsang pusat di otak yang membuat penderitanya bangun (secara tidak sadar) dan bisa bernapas lagi.


"Kejadian apnea ini bisa terjadi puluhan kali sehingga orang ini tidak pernah tidur nyenyak dan jarang bermimpi. Meski penderitanya sudah cukup lama tidur, tetap saja dia masih terasa sangat mengantuk," ujar dr Chandra seraya menambahkan sleep apnea juga membuat penderitanya mudah lupa dan mengalami kesulitan belajar.


Menurut dr Elisna Syahruddin, RS Persahabatan telah memiliki klinik khusus untuk mengatasi masalah sleep apnea. Ruang tidur yang ditata seperti hotel berbintang itu berisi peralatan canggih yang mampu mendeteksi faktor penyebab terjadinya sleep apnea.


"Bila gangguan itu akibat kegemukan, pasien diminta untuk diet saja, tetapi kalau gangguan itu akibat peradangan atau tumor ya harus dioperasi. Pokoknya, penyakit ini bisa disembuhkan," kata dr Elisna menegaskan.


Ditanya soal biaya, dr Elisna menyebut angka Rp 2 juta untuk satu kali kunjungan. Biaya itu memang agak mahal mengingat peralatan yang digunakan canggih dan ruang tidurnya ditata seperti layaknya hotel berbintang lima. "Cukup satu kali saja datang, sudah terdeteksi faktor penyebabnya. Selanjutnya tinggal melakukan pengobatan sesuai dengan faktor penyebabnya," kata dr Elisna.


Dr Chandra memaparkan beberapa tips untuk mengurangi tidur ngorok. Tidurlah dengan posisi miring. Cara itu dapat menjauhkan letak soft palatum dari dinding tenggorokan. Sehingga tidak menimbulkan getaran yang menimbulkan bunyi ngorok. Selain itu, penderita diminta untuk mengurangi konsumsi alkohol, karena dapat mengendurkan otot di sekitar tenggorokan. Akibatnya udara yang masuk dan keluar dapat terhalang. Itulah yang menyebabkan suara dengkuran.


"Tips lainnya adalah berhenti merokok. Rokok dapat membuat iritasi pada selaput dalam tenggorokan. Infeksi di bagian ini dapat menyumbat saluran pernapasan dan menyebabkan mendengkur," ujarnya. Dan yang tak kalah penting adalah berolahraga secara teratur. Dengan berolahraga bisa membuat otot-otot tubuh, termasuk otot di sekitar saluran pernapasan, lebih terkontrol. Selain juga bisa mengurangi lemak, faktor penyebab utama bagi mereka yang kegemukan. (Tri Wahyuni) 

Tidur Ngorok Pertanda Bahaya

Mendengkur alias ngorok dialami hampir semua orang terutama jika tidur dalam kondisi yang terlalu letih. Mendengkur jadi tidak normal jika dialami setiap tidur dan pertanda bahaya yang harus diwaspadai.


National Sleep Foundation mencatat lebih dari 18 juta orang dewasa Amerika mempunyai masalah pernafasan pada saat tidur, dan banyak diantara mereka yang tidak tahu punya kebiasan seperti itu.


Kebanyakan orang mengira bahwa mendengkur adalah efek samping dari gaya hidup yang sibuk dan melelahkan. Untuk beberapa kasus, hal itu memang benar. Namun yang harus diketahui dan disadari orang-orang yaitu, ada perbedaan antara mendengkur biasa dengan masalah pernafasan.


Penelitian menunjukkan bahwa masalah pernafasan pada saat tidur menandakan ada masalah yang serius di tubuh seseorang.


Apnea atau gangguan pernafasan yang terjadi berulang kali dan mengganggu tidur seseorang, terjadi ketika otot bagian belakang tenggorokan gagal membuka jalur udara untuk pernafasan.


Hal ini dapat menyebabkan pola tidur yang salah dan rendahnya asupan oksigen dalam darah, dan ujung-ujungnya mengarah pada berbagai penyakit seperti hipertensi, jantung, masalah mood dan ingatan.


Sebuah studi baru-baru ini di University of Maryland Medical Center, yang dikutip dari CNN, Selasa (14/7/2009), menemukan bahwa masalah pernafasaan saat tidur atau apnea dapat meningkatkan depresi dan memperparah mimpi buruk serta stres pasca trauma.


Biasanya penderita apnea sering merasa ngantuk di siang hari, sehingga dapat meningkatkan resiko kecelakaan mobil pula. Lalu bagaimana seseorang mengetahui bahwa dengkurannya adalah tanda ketidaknormalan dalam tubuhnya?


“Ketika masalah mendengkur sudah mempengaruhi kehidupan sehari-hari, segera temui dokter,” ujar Dr. Thomas Lorusso, direktur Northern Virginia Sleep Diagnostic Centers.


“Pasangan seranjang sebaiknya memperhatikan pasangannya ketika ia sering berhenti bernafas atau mendengkur dengan sangat keras,” ucap Lorusso. Seseorang yang tidur dengan Anda tahu lebih baik kebiasaan mendengkur Anda daripada diri Anda sendiri.


Gejala yang terjadi menjelang siang hari pun dapat dijadikan diagnosa apakah seseorang terkena apnea atau tidak. Umumnya orang apnea sering mengantuk, sulit berkonsentrasi dan susah bangun di pagi hari.


Lorusso mengatakan bahwa cara yang terbaik untuk mengetahui kebiasaan tidur Anda adalah dengan mengingat kembali aktivitas yang dilakukan sepanjang hari. Apakah melelahkan atau tidak serta apakah gejala apnea terjadi pada Anda di siang hari atau tidak.


Lalu bagaimana cara menghilangkan kebiasaan buruk yang membahayakan itu? Ubahlah gaya hidup Anda yang tidak sehat sekarang juga.


“Jauhi alkohol. Hal itu dapat membuat otot-otot yang mengalirkan udara di bagian atas tenggorokan mengendur sehingga aliran udara pun penjadi lancar,” jelas Lorusso.


Mengurangi berat badan dan rokok juga dapat mencegah masalah tersebut. Merokok dapat menyebabkan saluran udara bagian atas pernafasan membengkak, yang dapat memperparah penyakit apnea.


Sumber : health.detik.com 

Minggu, 19 September 2010

Deteksi Dini Anak dengan Autis

Pada awalnya gangguan ASD (Autistic Spectrum Disorder) dipandang sebagai gangguan yang disebabkan oleh faktor psikologis, yaitu pola pengasuhan orangtua yang tidak hangat secara emosional. Barulah sekitar tahun 1960 dimulai penelitian neurologis yang membuktikan bahwa gangguan ASD (Autistic Spectrum Disorder) disebabkan oleh adanya abnormalitas pada otak. Pada awal tahun 1970, penelitian tentang ciri-ciri anak autistik berhasil menentukan kriteria diagnosis yang selanjutnya digunakan dalam DSM-III. Gangguan autistik didefinisikan sebagai gangguan perkembangan dengan tiga ciri utama, yaitu gangguan pada interaksi sosial, gangguan pada komunikasi, dan keterbatasan minat serta kemampuan imajinasi. Walaupun sudah banyak penelitian mengenai ASD (Autistic Spectrum Disorder) dalam berbagai bidang, sejumlah ahli yang melakukan penelitian mendalam terhadap autisme berkesimpulan bahwa autisme bukanlah fenomena yang sederhana.


Frith (2003) menyimpulkan bahwa usahanya untuk menjelaskan autisme secara sederhana justru mengarahkannya pada fakta-fakta yang lebih kompleks: “The enigma of autism will continue to resist explanation.” Buten (2004) menemukan begitu beragamnya karakteristik anak autistik sehingga hanya satu kesamaan yang dilihatnya yaitu “air of aloness”. Sementara Zelan (2004) berpendapat bahwa individu autistik berbeda dengan individu lain sehingga perlu didekati dengan pendekatan humanistik yang memandang mereka sebagai individu yang utuh dan unik.


Gangguan ini pertama kali diperkenalkan oleh Leo Kanner dan Hans Asperger pada tahun 1943 dan sampai saat ini gangguan ASD (Autistik Spectrum Disorder) awalnya Hans Asperger menyebutkan gangguan ini sebagai psikopat austistik masa kanak-kanak. Peningkatan jumlah anak dengan gangguan ASD (Autistic Spectrum Disorder) sangat dramatis. Di Amerika, saat ini rasio penyandang autis adalah 1:150. Sementara itu, 14 tahun sebelumnya, 1:10.000. Jumlah anak autis di seluruh dunia pada tahun 2007 sebanyak 35 juta dan pada tahun 2008 mencapai 60 juta. Oleh karena itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan resolusi Nomor 62/139 pada 18 Desember 2007 yang menetapkan 2 April sebagai Hari Peduli Autisme Sedunia demi mengatasi masalah penyandang autis yang sudah sangat mengkhawatirkan.
Quill dalam Titin (2005:5) yang menyatakan bahwa kecenderungan dan kelemahan berkomunikasi anak penyandang ASD (Autistic Spectrum Disorder) adalah menghindari kontak mata dan sulit memusatkan perhatiannya, hanya merespon pada orang lain (sulit untuk memulai komunikasi), komunikasi yang dilakukan cenderung untuk meminta (request) dan sulit untuk memberikan komentar atau tidak spontan, membeo (ocholalia) dan sulit untuk membuat pesan baru, dalam percakapan kecenderungan melakukan topik percakapan yang itu-itu saja (preserveretive topic) topik yang dibicarakan kurang fleksibel dan percakapan tertuju pada diri sendiri (self directed) dan sulit melakukan percakapan bersama.


Autisme merupakan masalah yang multidisipliner. Secara internal pada individu autis, diperlukan penanganan dari ilmu kedokteran (bagian jiwa, anak dan gizi) dan juga psikologi. Secara eksternal, autism menyangkut masalah sosiologi, komunikasi dan pendidikan. Dulu autism dianggap sebagai kondisi yang tanpa harapan dan tidak dapat membaik, ternyata saat ini diketahui, bila dilakukan intervensi secara dini, intensif. Optimal dan komperhensif maka penyandang autisme dapat “sembuh”. Penanganan pada usia dini dilakukan melalui terapi sebelum anak berumur 5 tahun, karena puncak perkembangan paling pesat dari otak manusia terjadi pada usia 2-3 tahun, oleh karena itu pelaksanaan terapi setelah usia 5 tahun hasilnya akan berjalan lambat. Penanganan dini yang digunakan pada anak penyandang ASD (Autistic Spectrum Disorder) berbeda beda, disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan indivual anak. Berbagai terapi diupayakan untuk “menarik” anak autis dari dunia dan alam pikirannya yang sepi.


Berbagai jenis terapi telah dikembangkan untuk menangani anak penyandang ASD (Autistic Spectrum Disorder) yaitu terapi perilaku, terapi metode ABA (Applied Behavior Analysis), terapi Okupasi dan terapi fisik, terapi wicara, terapi Medikamentosa, terapi bermain dan terapi musik, dan terapi diet. Terapi membantu anak penyandang autis untuk mengembangkan keterampilan bantu diri atau self-help, ketrampilan berperilaku yang pantas di depan umum. Salah satu tempat yang dapat memberikan terapis pada anak penyandang autis adalah sekolah atau tempat-tempat pelatihan yang dikhususkan bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus. Sekolah merupakan salah satu wadah bagi anak untuk melakukan sosialisasi sekunder.


Klasifikasi autisme ditentukan berdasaran kesepakatan para dokter yang dituangkan dalam International Classification of Deaseas 9 and 10 (ICD-9 dan ICD-10) oleh WHO tahun 1993, atau Diagnostic and Statistical Manual IV (DSM IV) yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association pada tahun 1994, yaitu :


1. Autisme Masa kanak-kanak (Chidlhood Autism)
Autisme Masa Kanak adalah gangguan perkembangan pada anak yang gejalanya sudah tampak sebelum anak tersebut mencapai umur 3 tahun. Anak-anak ini sering juga menunjukkan emosi yang tak wajar, temper tantrum (ngamuk tak terkendali), tertawa dan menangis tanpa sebab, ada juga rasa takut yang tak wajar. Kecuali gangguan emosi sering pula anak-anak ini menunjukkan gangguan sensoris, seperti adanya kebutuhan untuk mencium-cium/menggigit-gigit benda, tidak suka kalau dipeluk atau dielus. Autisme masa kanak lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan dengan perbandingan 3 : 1.
Perkembangan yang terganggu adalah dalam bidang :
a. Komunikasi, yaitu kualitas komunikasi yang tidak normal, antara lain seperti :
1. Perkembangan bicaranya terlambat, atau sama sekali tidak berkembang.
2. Tidak adanya usaha untuk berkomunikasi dengan gerak atau mimik muka untuk mengatasi kekurangan dalam kemampuan bicara.
3. Tidak mampu untuk memulai suatu pembicaraan atau memelihara suatu pembicaraan dua arah yang baik.
4. Bahasa yang tidak lazim yang diulang-ulang atau stereotipik.
5. Tidak mampu untuk bermain secara imajinatif, biasanya permainannya kurang variatif.
b. Interaksi sosial, yaitu adanya gangguan dalam kualitas interaksi sosial antara lain seperti:
1. Kegagalan untuk bertatap mata, menunjukkan ekspresi fasial, maupun postur dan gerak tubuh, untuk berinteraksi secara layak.
2. Kegagalan untuk membina hubungan sosial dengan teman sebaya, dimana mereka bisa berbagi emosi, aktivitas, dan interes bersama.
3. Ketidak mampuan untuk berempati, untuk membaca emosi orang lain.
4. Ketidak mampuan untuk secara spontan mencari teman untuk berbagi kesenangan dan melakukan sesuatu bersama-sama.
c. Perilaku, yaitu aktivitas, perilaku dan interesnya sangat terbatas, diulang-ulang dan stereotipik antara lain seperti:
1. Adanya suatu preokupasi yang sangat terbatas pada suatu pola perilaku yang tidak normal, misalnya duduk dipojok sambil menghamburkan pasir seperti air hujan, yang bisa dilakukannya berjam-jam.
2. Adanya suatu kelekatan pada suatu rutin atau ritual yang tidak berguna, misalnya kalau mau tidur harus cuci kaki dulu, sikat gigi, pakai piyama, menggosokkan kaki dikeset, baru naik ketempat tidur. Bila ada satu diatas yang terlewat atau terbalik urutannya, maka ia akan sangat terganggu dan nangis teriak-teriak minta diulang.
3. Adanya gerakan-gerakan motorik aneh yang diulang-ulang, seperti misalnya mengepak-ngepak lengan, menggerak-gerakan jari dengan cara tertentu dan mengetok-ngetokkan sesuatu.
4. Adanya preokupasi dengan bagian benda/mainan tertentu yang tak berguna, seperti roda sepeda yang diputar-putar, benda dengan bentuk dan rabaan tertentu yang terus diraba-rabanya, suara-suara tertentu.


2. Pervasive Developmental Disorder - Not Otherwise Specified (PDD-NOS).
PDD- NOS juga mempunyai gejala gangguan perkembangan dalam bidang komunikasi, interaksi maupun perilaku, namun gejalanya tidak sebanyak seperti pada Autisme Masa kanak. Kualitas dari gangguan tersebut lebih ringan, sehingga kadang-kadang anak-anak ini masih bisa bertatap mata, ekspresi fasial tidak terlalu datar, dan masih bisa diajak bergurau.


3. Sindrom Rett (Rett’s Syndrome)
Sindroma Rett adalah gangguan perkembangan yang hanya dialami oleh anak wanita. Kehamilannya normal, kelahiran normal, perkembangan normal sampai sekitar umur 6 bulan. Lingkaran kepala normal pada saat lahir. Mulai sekitar umur 6 bulan mereka mulai mengalami kemunduran perkembangan. Pertumbuhan kepala mulai berkurang antara umur 5 bulan sampai 4 tahun. Gerakan tangan menjadi tak terkendali, gerakan yang terarah hilang, disertai dengan gangguan komunikasi dan penarikan diri secara sosial. Gerakan-gerakan otot tampak makin tidak terkoordinasi.Seringkali memasukan tangan ke mulut, menepukkan tangan dan membuat gerakan dengan dua tangannya seperti orang sedang mencuci baju. Hal ini terjadi antara umur 6-30 bulan. Terjadi gangguan berbahasa, perseptif maupun ekspresif disertai kemunduran psikomotor yang hebat. Yang sangat khas adalah timbulnya gerakan-gerakan tangan yang terus menerus seperti orang yang sedang mencuci baju yang hanya berhenti bila anak tidur. Gejala-gejala lain yang sering menyertai adalah gangguan bernafasan, otot-otot yang makin kaku , timbul kejang, scoliosis tulang punggung, pertumbuhan terhambat dan kaki makin mengecil (hypotrophik). Pemeriksaan EEG biasanya menunjukkan kelainan.


4. Gangguan Disintegratif masa kanak-kanak (childhood Disintegrative Disorder)
Pada Gangguan Disintegrasi Masa Kanak, hal yang mencolok adalah bahwa anak tersebut telah berkembang dengan sangat baik selama beberapa tahun, sebelum terjadi kemunduran yang hebat. Gejalanya biasanya timbul setelah umur 3 tahun. Anak tersebut biasanya sudah bisa bicara dengan sangat lancar, sehingga kemunduran tersebut menjadi sangat dramatis. Bukan saja bicaranya yang mendadak terhenti, tapi juga ia mulai menarik diri dan ketrampilannyapun ikut mundur. Perilakunya menjadi sangat cuek dan juga timbul perilaku berulang-ulang dan stereotipik. Bila melihat anak tersebut begitu saja , memang gejalanya menjadi sangat mirip dengan autisme.


5. Asperger Syndrome (AS)
Seperti pada Autisme Masa Kanak, Sindrom Asperger (SA) juga lebih banyak terdapat pada anak laki-laki daripada wanita. Anak SA juga mempunyai gangguan dalam bidang komunikasi, interaksi sosial maupun perilaku, namun tidak separah seperti pada Autisme. Pada kebanyakan dari anak-anak ini perkembangan bicara tidak terganggu. Bicaranya tepat waktu dan cukup lancar, meskipun ada juga yang bicaranya agak terlambat. Namun meskipun mereka pandai bicara, mereka kurang bisa komunikasi secara timbal balik.


Komunikasi biasanya jalannya searah, dimana anak banyak bicara mengenai apa yang saat itu menjadi obsesinya, tanpa bisa merasakan apakah lawan bicaranya merasa tertarik atau tidak. Seringkali mereka mempunyai cara bicara dengan tata bahasa yang baku dan dalam berkomunikasi kurang menggunakan bahasa tubuh. Ekspresi muka pun kurang hidup bila dibanding anak-anak lain seumurnya. Mereka biasanya terobsesi dengan kuat pada suatu benda/subjek tertentu, seperti mobil, pesawat terbang, atau hal-hal ilmiah lain. Mereka mengetahui dengan sangat detil mengenai hal yang menjadi obsesinya. Obsesi inipun biasanya berganti-ganti.Kebanyakan anak SA cerdas, mempunyai daya ingat yang kuat dan tidak mempunyai kesulitan dalam pelajaran disekolah. Mereka mempunyai sifat yang kaku, misalnya bila mereka telah mempelajari sesuatu aturan, maka mereka akan menerapkannya secara kaku, dan akan merasa sangat marah bila orang lain melanggar peraturan tersebut. Misalnya: harus berhenti bila lampu lalu lintas kuning, membuang sampah dijalan secara sembarangan.
Dalam interaksi sosial juga mereka mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan teman sebaya. Mereka lebih tertarik pada buku atau komputer daripada teman. Mereka sulit berempati dan tidak bisa melihat/menginterpretasikan ekspresi wajah orang lain. Perilakunya kadang-kadang tidak mengikuti norma sosial, memotong pembicaraan orang seenaknya, mengatakan sesuatu tentang seseorang didepan orang tersebut tanpa merasa bersalah.


Penyebab :
Hingga saat ini penyebab ASD (Autis Spectrum Disorder) secara pasti belum diketahui, namun beberapa pakar sepakat bahwa terdapat kelainan pada otak. Terdapat tiga lokasi yang mengalami kelainan neuro-anatomis yaitu pada lobus patietalis, cerebellum (otak kecil) dan sistem limbik. Gangguan pada lobus patietalis menyebabkan anak bersikap cuek pada lingkungan. Kelainan pada cerebellum (otak kecil) ditemukan pada lobus VI dan VII, otak kecil bertanggung jawab atas proses sensorik, daya ingat, berfikir, belajar berbahasa, dan proses atensi (perhatian).


Pada otak kecil penyandang autis ditemukan sejumlah kecil sel purkinye yang menyebabkan gangguan keseimbangan serotonin dan dopamine yang menyebabkan gangguan atau kekacauan pada lalu lalang implus di otak. Sedangkan kelainan didaerah limbik dikenal dengan istilah hippocampus (bertanggung jawab terhadap fungi belajar dan daya ingat) dan amygdale (bertanggung jawab terhadap beberapa rangsangan sensoris seperti pendengaran, pengeliatan, penciuman, perabaan, rasa dan perasaan takut). Gangguan pada daerah limbik ini menyebabkan terjadinya gangguan fungsi kontrol terhadap agresi dan emosi. Anak akan kurang dapat mengendalikan emosinya dan sering kali terlalu agresif atau terlalu pasif, anak juga akan melakukan perilaku yang diulang-ulang dan hiperaktif.


Namun tidak hanya itu saja yang menjadi penyebab ASD (Autis Spectrum Disorder) beberapa faktor pemicu lain yang berperan penting dalam dalam timbulnya penyakit ini. Infeksi yang diakibatkan oleh virus antara lain toksoplasmosis, rubella, candida, infeksi logam berat seperti Pb, Al, Hg, Cd, infeksi zat adiktif seperti MSG, pengawet, pewarna pada trimester pertama kehamilan yakni pada saat kandungan berusia 0-4 bulan juga menyebabkan seorang anak terjangkit penyakit ini. Selain itu, proses kelahiran lama (partus lama) dimana terjadi gangguan nutrisi dan oksigen pada janin, tumbuhnya jamur yang berlebihan pada usus sebagai akibat pemakaian antibiotik yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya kebocoran usus (leaky gut syndrome) menyebabkan ketidaksempurnaan pencernaan kasein dan gluten yang terpecah menjadi polipeptida, apabila terserap dalam aliran darah maka akan menimbulkan efek morfin pada otak anak yang juga menjadi penyebab penyakit ini. Masih ada kelainan yang disebut Sensory Interpretation Erros dimana rangsangan sensoris yang berasal dari reseptor visual, autori, dan taktil mengalamai prose yang kacau pada otak anak, sehingga menimbulkan persepsi yang kacau atau berlebihan yang menyebabkan kebingungan dan ketakutan pada anak akibatnya anak akan menarik diri dari lingkungan, akibatnya Anak-anak penyandang ASD (Autis Spectrum Disorder) akan kesulitan dalam berkomunikasi.


Manifestasi klinis autis
Autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang komunikasi, gangguan dalam bermain, bahasa, perilaku, gangguan perasaan dan emosi, interaksi sosial, perasaan sosial dan gangguan dalam perasaan sensoris.


Gangguan dalam komunikasi verbal maupun nonverbal meliputi kemampuan berbahasa mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak dapat berbicara. Menggunakan kata kata tanpa menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan. Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu singkat. Kata-kata yang tidak dapat dimengerti orang lain (“bahasa planet”). Tidak mengerti atau tidak menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai. Ekolalia (meniru atau membeo), menirukan kata, kalimat atau lagu tanpa tahu artinya. Bicaranya monoton seperti robot. Bicara tidak digunakan untuk komunikasi dan mimik datar.


Gangguan dalam bidang interaksi sosial meliputi gangguan menolak atau menghindar untuk bertatap muka. Tidak menoleh bila dipanggil, sehingga sering diduga tuli. Merasa tidak senang atau menolak dipeluk. Bila menginginkan sesuatu, menarik tangan tangan orang yang terdekat dan berharap orang tersebut melakukan sesuatu untuknya. Tidak berbagi kesenangan dengan orang lain. Saat bermain bila didekati malah menjauh. Bila menginginkan sesuatu ia menarik tangan orang lain dan mengharapkan tangan tersebut melakukan sesuatu untuknya.


Gangguan dalam bermain diantaranya adalah bermain sangat monoton dan aneh misalnya menderetkan sabun menjadi satu deretan yang panjang, memutar bola pada mainan mobil dan mengamati dengan seksama dalam jangka waktu lama. Ada kelekatan dengan benda tertentu seperti kertas, gambar, kartu atau guling, terus dipegang dibawa kemana saja dia pergi. Bila senang satu mainan tidak mau mainan lainnya. Tidak menyukai boneka, tetapi lebih menyukai benda yang kurang menarik seperti botol, gelang karet, baterai atau benda lainnya Tidak spontan, reflek dan tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tidak dapat meniru tindakan temannya dan tidak dapat memulai permainan yang bersifat pura pura. Sering memperhatikan jari-jarinya sendiri, kipas angin yang berputar atau angin yang bergerak. Perilaku yang ritualistik sering terjadi sulit mengubah rutinitas sehari hari, misalnya bila bermain harus melakukan urut-urutan tertentu, bila bepergian harus melalui rute yang sama.


Gangguan perilaku dilihat dari gejala sering dianggap sebagai anak yang senang kerapian harus menempatkan barang tertentu pada tempatnya. Anak dapat terlihat hiperaktif misalnya bila masuk dalam rumah yang baru pertama kali ia datang, ia akan membuka semua pintu, berjalan kesana kemari, berlari-lari tak tentu arah. Mengulang suatu gerakan tertentu (menggerakkan tangannya seperti burung terbang). Ia juga sering menyakiti diri sendiri seperti memukul kepala atau membenturkan kepala di dinding. Dapat menjadi sangat hiperaktif atau sangat pasif (pendiam), duduk diam bengong dengan tatap mata kosong. Marah tanpa alasan yang masuk akal. Amat sangat menaruh perhatian pada satu benda, ide, aktifitas ataupun orang. Tidak dapat menunjukkan akal sehatnya. Dapat sangat agresif ke orang lain atau dirinya sendiri. Gangguan kognitif tidur, gangguan makan dan gangguan perilaku lainnya.


Gangguan perasaan dan emosi dapat dilihat dari perilaku tertawa-tawa sendiri, menangis atau marah tanpa sebab nyata. Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum), terutama bila tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum)bila keinginannya tidak didapatkannya, bahkan bisa menjadi agresif dan merusak.. Tidak dapat berbagi perasaan (empati) dengan anak lain.


Gangguan dalam persepsi sensoris meliputi perasaan sensitif terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa (lidah) dari mulai ringan sampai berat. Menggigit, menjilat atau mencium mainan atau benda apa saja. Bila mendengar suara keras, menutup telinga. Menangis setiap kali dicuci rambutnya. Merasakan tidak nyaman bila diberi pakaian tertentu. Tidak menyukai rabaan atau pelukan, Bila digendong sering merosot atau melepaskan diri dari pelukan. Tidak menyukai rabaan atau pelukan, Bila digendong sering merosot atau melepaskan diri dari pelukan.


Diagnosis autisme
Menegakkan diagnosis autis memang tidaklah mudah karena membutuhkan kecermatan, pengalaman dan mungkin perlu waktu yang tidak sebentar untuk pengamatan. Sejauh ini tidak ditemukan tes klinis yang dapat mendiagnosa langsung autisme. Diagnosis yang paling baik adalah dengan cara seksama mengamati perilaku anak dalam berkomunikasi, bertingkah laku dan tingkat perkembangannya. Banyak tanda dan gejala perilaku seperti autisme yang disebabkan oleh adanya gangguan selain autis. Pemeriksaan klinis dan penunjang lainnya mungkin diperlukan untuk memastikan kemungkinan adanya penyebab lain tersebut. Karena karakteristik dari penyandang autis ini banyak sekali ragamnya sehingga cara diagnosa yang paling ideal adalah dengan memeriksakan anak pada beberapa tim dokter ahli seperti ahli neurologis, ahli psikologi anak, ahli penyakit anak, ahli terapi bahasa, ahli pengajar dan ahli profesional lainnya dibidang autis.


Dokter ahli atau praktisi kesehatan profesional yang hanya mempunyai sedikit pengetahuan dan wawasan mengenai autisme akan mengalami kesulitan dalam men-diagnosa autisme. Kadang kadang dokter ahli atau praktisi kesehatan profesional keliru melakukan diagnosa dan tidak melibatkan orang tua sewaktu melakukan diagnosa. Kesulitan dalam pemahaman autis dapat menjurus pada kesalahan dalam memberikan pelayanan kepada penyandang autisme yang secara umum sangat memerlukan perhatian yang khusus dan rumit. Hasil pengamatan sesaat belumlah dapat disimpulkan sebagai hasil mutlak dari kemampuan dan perilaku seorang anak. Masukkan dari orang tua mengenai kronologi perkembangan anak adalah hal terpenting dalam menentukan keakuratan hasil diagnosa. Secara sekilas, penyandang autis dapat terlihat seperti anak dengan keterbelakangan mental, kelainan perilaku, gangguan pendengaran atau bahkan berperilaku aneh dan nyentrik. Yang lebih menyulitkan lagi adalah semua gejala tersebut diatas dapat timbul secara bersamaan. Karenanya sangatlah penting untuk membedakan antara autis dengan yang lainnya sehingga diagnosa yang akurat dan penanganan sedini mungkin dapat dilakukan untuk menentukan terapi yang tepat.


Deteksi Dini
Meskipun sulit namun tanda dan gejala autisme sebenarnya sudah bisa diamati sejak dini bahkan sejak sebelum usia 6 bulan.
1. Deteksi dini sejak dalam kandungan
Sampai sejauh ini dengan kemajuan tehnologi kesehatan di dunia masih juga belum mampu mendeteksi resiko autism sejak dalam kandungan. Terdapat beberapa pemeriksaan biomolekular pada janin bayi untuk mendeteksi autism sejak dini, namun pemeriksaan ini masih dalam batas kebutuhan untuk penelitian.
2. Deteksi dini dari lahir hingga usia 5 tahun
Autisma agak sulit di diagnosis pada usia bayi. Tetapi amatlah penting untuk mengetahui gejala dan tanda penyakit ini sejak dini karena penanganan yang lebih cepat akan memberikan hasil yang lebih baik. Beberapa pakar kesehatanpun meyakini bahwa merupahan hal yang utama bahwa semakin besar kemungkinan kemajuan dan perbaikan apabila kelainan pada anak ditemukan pada usia yang semakin muda.


Ada beberapa gejala yang harus diwaspadai terlihat sejak bayi atau anak menurut usia :
USIA 0 – 6 BULAN
1. Bayi tampak terlalu tenang ( jarang menangis)
2. Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik
3. Gerakan tangan dan kaki berlebihan terutama bila mandi
4. Tidak “babbling”
5. Tidak ditemukan senyum sosial diatas 10 minggu
6. Tidak ada kontak mata diatas umur 3 bulan
7. Perkembangan motor kasar/halus sering tampak normal
USIA 6 – 12 BULAN
1. Bayi tampak terlalu tenang ( jarang menangis)
2. Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik
3. Gerakan tangan dan kaki berlebihan
4. Sulit bila digendong
5. Tidak “babbling”
6. Menggigit tangan dan badan orang lain secara berlebihan
7. Tidak ditemukan senyum sosial
8. Tidak ada kontak mata
9. Perkembangan motor kasar/halus sering tampak normal
USIA 6 – 12 BULAN
1. Kaku bila digendong
2. Tidak mau bermain permainan sederhana (ciluk ba, da-da)
3. Tidak mengeluarkan kata
4. Tidak tertarik pada boneka
5. Memperhatikan tangannya sendiri
6. Terdapat keterlambatan dalam perkembangan motor kasar/halus
7. Mungkin tidak dapat menerima makanan cair
USIA 2 – 3 TAHUN
1. Tidak tertarik untuk bersosialisasi dengan anak lain
2. Melihat orang sebagai “benda”
3. Kontak mata terbatas
4. Tertarik pada benda tertentu
5. Kaku bila digendong
USIA 4 – 5 TAHUN
1. Sering didapatkan ekolalia (membeo)
2. Mengeluarkan suara yang aneh (nada tinggi atau datar)
3. Marah bila rutinitas yang seharusnya berubah
4. Menyakiti diri sendiri (membenturkan kepala)
5. Temperamen tantrum atau agresif


Komunikasi pada anak Autis
Komunikasi terjadi karena adanya pematangan sistem biologis dan sistem syaraf dalam tubuh anak. Tidak heran apabila pematangan sistem tersebut terhambat maka akan terhambat pula kemampuan komunikasi seseorang. Komunikasi terkait dengan kemampuan kognisi, sehingga makin bermasalah seseorang dalam pemahaman maka akan semakin terbatas kemampuan komunikasinya.


Menurut Ginanjar (2007:66) memahami tahapan komunikasi pada anak autis akan mempermudah untuk mengetahui pada tahapan mana anak tersebut berada dan merancang gaya komunikasi yang sesuai.
Tahapan dalan komunikasi pada anak autis dibagi menjadi empat, yaitu: 1. The Own Agenda Stage,
Pada tahap ini anak masih lebih suka bermain sendiri dan tampaknya tidak tertarik pada orang-orang disekitarnya. Anak belum tahu bahwa dengan komunikasi ia akan mempengaruhi orang lain. Untuk mengetahui keinginannya, orang tua harus memperhatikan gerak tubuh dan ekspresi wajah anak. Seringkali anak mengambil sendiri benda-benda yang diinginkannya. Interaksi dengan ibu atau pengasuh mungkin dapat berlangsung cukup lama, namun anak belum mau berinteraksi dengan anak-anak lain atau orang yang baru dikenalnya. Ia belum dapat bermain dengan benar dan akan menangis atau berteriak bila kegiatannya terganggu atau bila menolak.
2. The Requester Stage,
Anak yang berada pada tahap ini mulai menyadari bahwa tingkah lakunya dapat mempengaruhi orang disekitarnya. Bila menginginkan sesuatu, anak biasanya akan menarik tangan orang tua atu orang disekitarnya dan mengarahkan pada benda yang ada disekitarnya. Kegiatan atu permainan yang amat disukainya biasanya masih bersifat fisik seperti bergulat, dikelitiki, bermain cilukba. Sebagaian anak telah mampu mengulang kata-kata tetapi bukan untuk berkomuniasi melainkan untuk menenangkan dirinya. Pada tahapan ini anak mulai bisa mengikuti perintah sederhana tetapi responnya masih belum konsisten. Ia juga memahami tahapan rutin dalam kehidupan sehari-hari.
3. The Early Communication Stage,
Kemampuan anak dalam berkomunikasi telah lebih baik karena melibatkan gesture khusus, suara dan gambar. Interaksi yang terjadi juga berlangsung lama. Anak telah mentadari bahwa ia bisa menggunakan salah satu bentuk komunikasi tertentu secara konsisten pada situasi tertentu. Namun demikian, inisiatif untuk berkomunikasi masih terbatas pada pemenuhan kebutuhannya, seperti makanan, minuman, dan benda-benda yang disukainya. Pada tahap ini anak telah mulai mengulang hal-hal yang didengarnya, mulai memahami siyarat visua atau gambar komunikasi dan memahami kalimat-kalimat sederhana yang diucapkan orang tua. Bila terlihat perkembangan bahwa anak mulai memanggil nama, menunjuk sesuatu yang diinginkan berarti anak sudah siap untuk memulai komunikasi dua arah. Pada tahap ini anak sudah dapat diajarkan untuk menyapa orang lain, menjawab pertanyaaan “apa ini/itu” dan memberikan jawaban “ya” “tidak”.
4. The Partner Stage,
Tahap ini merupakan fase yang paling efektif. Bila kemampuan biacara anak baik, ia akan mampu melakukan percakapan sederhana. Anak juga dapat diminta untuk menceritakan pengalamannya yang telah lalu, keinginannya yang belum terpenuhi dan mengekspresikan perasaanya. Namun demikian kadang-kadang anak masih terpaku pada kalimat-kalimat yang telah dihafalkan dan sulit menemukan topik pembicaraan yang tepat pada situasi yang baru. Bagi anak-anak yang masih mengalami kesulitan untuk betbicara, komunikasi dapat dilakukan dengan menggunakan rangkaian gambar atau menyusun kartu-kartu bertulisan. Walaupun sudah sering berinteraksi dengan anak-anak lain dan orang tua kebiasaan anak untuk bermain dengan diri sendiri tetap ada, terutama bila ia tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan teman-temannya. Ketika anak mampu mengucapkan kata-kata, sering muncul kebiasaan untuk mengulang-ulang kata atau kalimat tertentu, hal ini disebut Ekolalia. Kebiasaan ini tampaknya tidak memiliki fungsi positif dan bahkan terasa menggangu bagi yang mendengarnya.


Terapi ABA (Applied Behavior Analysis) Pengertian terapi ABA
Metode ABA (Applied Behavior Analysis) adalah metode tata-laksana perilaku yang telah berkembang sejak puluhan tahun yang lalu. Metode ini diciptakan oleh O. Ivar Lovaas, Ph.D dari University of California Los Angel (UCLA). Penggunaaan metode ABA (Applied Behavior Analysis) dapat dianggap sebagai program kesiapan belajar karena tingkah laku target yang diajar pawa awal program merupakan keterampilan awal, seperti pemahaman terhadap sebab-akibat, memperhatikan, mematuhi instruktur dan meniru.
Metode ABA (Applied Behavior Analysis) banyak digunakan karena mempunyai kurikulum yang jelas yaitu menggunakan patokan yang jelas tentang keberhasilan anak. Keterampilan yang diajarkan akan diberikan penilaian untuk mengetahui keberhasilan, dan bantuan yang akan diberikan.
Tujuan metode ABA (Applied Behavior Analysis) Tujuan dari pemberian metode ini pada anak autis adalah sebagai berikut:
1. Mempelajari cara anak autis bereaksi terhadap suatu rangsangan dan apa yang terjadi sebagai akibat dari reaksi spesifik tersebut. Selanjutnya, apakah metode ini juga mempengaruhi atau mengubah perilaku yang akan datang.
2. Membangun kemampuan yang secara sosial tidak dimiliki, dan mengurangi atu menghilangkan hal-hal yang merupakan masalah.
3. Mengajarkan anak belajar dari lingkungan normal, merespon lingkungan, dan mengajarkan perilaku yang sesuai agar anak dapat membedakan berbagai hal tertentu dari berbagai macam rangsangan.


Metode Pengajaran ABA (Applied Behavior Analysis)
Materi pengajaran pada anak autistik harus sesuai dengan perkembangan. Misalnya, keterampilan yang lebih mudah diajarkan lebih dulu. Sedangkan, keterampilan rumit jangan dulu diajarkan sebelum anak menguasai syaratnya.


Beberapa ahli terapi anak autis, mengelompokkan keterampilan dan kemampuan anak autistik untuk menyusun kurikulum khusus, diantaranya:
1. Kemampuan untuk memperhatikan. Ini adalah sikap belajar yang diperlukan untuk bersekolah dan bekerja. Apabila seorang anak tidak mampu memperhatikan dalam rentang waktu beberapa menit, ia akan mengalami kesulitan mencerna pelajaran atau mendengarkan instruksi.
2. Meniru atau imitasi. Pada saat anak diminta meniru, tidak muncul perkataan apapun dari seorang terapis kecuali hanya kata “tiru”, “lakukan” atau “coba”. Pada posisi ini, anak autistik dituntut melakukannya seperti yang dicontohkan. Materi imitasi dibagi ke dalam beberapa tahap, yaitu: imitasi motorik kasar, imitasi motorik halus, imitasi aksi dengan benda, imitasi suara (sehingga anak belajar berbicara karena diarahkan meniru kata-kata orang lain), imitasi pola balok (untuk mempersiapkan anak belajar menulis), sampai imitasi perilaku bermain.
3. Memasangkan. Anak autistik dituntut mengenali sesuatu yang dikelompokkan atas ciri-ciri tertentu. Kemampuan ini meliputi kemampuan men-sortir dan mengerjakan worksheet. Misalnya, piring pasangannya gelas, pena merupakan alat tulis, stasiun, hotel, kolam renang adalah tempat. Instruksi yang diberikan, “pasangkan”, “cari yang sama”, “mana yang sama” atau kata-kata lain yang bermakna sama, sehingga anak mencari pasangan yang diperlihatkan.
4. Identifikasi. Anak autistik diminta menetapkan pilihan dengan memegang, mengambil, atau menunjuk satu dari beberapa hal. Teknik ini memungkinkan kita memeriksa apakah anak paham berbagai konsep (reseptive languange) tanpa bergantung pada kemampuan bicara mereka. Identifikasi tidak terlalu berbeda dengan labeling, tapi identifikasi anak autistik tidak dituntut secara ekspresif. Pada proses identifikasi, perintah yang diberikan, “pegang”, “tunjuk”, “ambil”, “kasihkan” dan anak diminta memilih satu dari beberapa stimulus.
5. Labeling atau ekspresi (bahasa pengungkapan). Kemampuan ini memang cukup sulit karena mengandalkan kemampuan pengungkapan bahasa (expressive languange).
Istilah yang dipakai dalam metode ABA (Applied Behavior Analysis)


Terdapat beberapa istilah dalam pemberian terapi ini yaitu :
1. Instruksi
Yang merupakan kata- kata perintah yang diberikan pada anak pada saat proses terapi. Instruksi pada anak harus S-J-T-T-S : SINGKAT- JELAS- TEGAS- TUNTAS- SAMA. Suatu instruksi harus cukup jelas (volume disesuaikan dengan respon anak) namun jangan membentak atau menjerit. Singkat yaitu cukup 2 suku kata, jangan terlalu panjang karena tidak dapat ditangkap atau dimengerti oleh anak, terutama anak autis. Tegas berarti instruksi tidak boleh “ditawar” oleh anak dan harus dilaksanakan (kalau perlu diprompt). Terapis harus bersikap seperti bos yang tidak semena-mena, terapis harus menyayangi anak tersebut akan tetapi tidak boleh terlalu memanjakan. Tuntas berarti setiap instruksi harus dilaksanakan sampai selesai. Sama yaitu setiap instruksi dari tiga terapis harus memakai kata yang sama, jangan berbeda sedikitpun.
2. Prompt
Yaitu bantuan atau arahan yang diberikan kepada anak apabila anak tidak memberikan respon terhadap instruksi. Prompt dapat diberikan secara penuh yaitu hand-on hand, tangan terapis memegang tangan anak dan melakukan perilaku yang diinstruksikan. Prompt secara bertahap dikurangi sampai anak mampu secara mandiri melakukan sendiri. Prompt dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan menunjuk, dengan gerak tubuh, dengan pandangan mata ataupun dengan cara verbal.
3. Reinforcement atau imbalan
Reinforcement atau imbalan adalah “hadiah” atau “penguat” suatu perilaku agar anak mau melakukan terus dan menjadi mengerti pada konsepnya. Imbalan harus terkesan seperti UPAH dan bukan sebagai SUAP atau SOGOKAN. Sifat upah adalah selalu konsisten setelah tugas atau instruksi dan juga tidak diiming- imingi.
4. Achieved atau disingkat A
Achieved adalah bila anak merespon suatu instruksi terapis dengan benar dan mandiri (tanpa prompt)
5. Mastered
Diberikan apabila anak berhasil merespon dengan benar 3 instruksi pertama secara berturut- turut dari 3 terapis (dalam waktu berlainan).
6. Generalisasi
Yaitu memperluas kemampuan anak untuk merespon instruksi dari subyek yang berlainan, kata- kata instruksi yang berbeda- beda, dengan obyek yang berbeda-beda, dan pada lingkungan atau suasana yang berbeda- beda.
7. R + ITEMS
Adalah semua benda (makanan, minuman, mainan, barang kesukaan anak), situasi atau aktivitas yang disukai anak dan dapat dijadikan imbalan.
8. ITEMS
Adalah semua benda, situasi dan aktivitas yang tidak disukai anak
9. Mild Disruptive Behavior (MDB)
Adalah perilaku “aneh” yang ringan tapi cukup mengganggu proses terapi dan pergaulan sosial, sehingga perlu dihilangkan agar tidak merugikan anak (waktu dewasa kelak).
10. Tantrum atau mengamuk
Adalah perilaku anak yang hebat dan merusak. Bila menyerang orang atau barang disebut agresif dan bila menyakiti diri sendiri disebut self-abuse. Tantrum ini juga sangat perlu dieliminir atau dihilangkan agar tidak merugikan anak dalam pergaulan sosialnya kelak.
11. Echolalia atau membeo
Yaitu kemampuan anak untuk menirukan kata atau kalimat bahkan nyanyian, tapi tanpa mengerti artinya, sehingga mampu menggunakannya untuk berkomunikasi dengan orang lain.


Peranan orang tua, dokter dan tenaga kesehatan lain dalam deteksi dini
Dalam perkembangannya menjadi manusia dewasa, seorang anak berkembang melalui tahapan tertentu. Diantara jenis perkembangan, yang paling penting untuk menentukan kemampuan intelegensi di kemudian hari adalah perkembangan motorik halus dan pemecahan masalah visuo-motor, serta perkembangan berbahasa. Kemudian keduanya berkembang menjadi perkembangan sosial yang merupakan adaptasi terhadap lingkungan. Walaupun kecepatan perkembangan setiap anak berbeda-beda, kita harus waspada apabila seorang anak mengalami keterlambatan perkembangan atau penyimpangan perkembangan.


Untuk mendeteksi keterlambatan khususnya gangguan , dapat digunakan 2 pendekatan :
Memberikan peranan kepada orang tua, nenek, guru atau pengasuh untuk melakukan deteksi dini dan melaporkan kepada dokter dan tenaga kesehatan lain bila anak mengalami keterlambatan atau gangguan perkembangan dan perilaku. Kerugian cara ini adalah bahwa orang tua sering menganggap bahwa anak akan dapat menyusul keterlambatannya dikemudian hari dan cukup ditunggu saja. Misalnya bila anak mengalami keterlambatan bicara, nenek mengatakan bahwa ayah atau ibu juga terlambat bicara, atau anggapan bahwa anak yang cepat jalan akan lebih lambat bicara. Kadang-kadang disulitkan oleh reaksi menolak dari orang tua yang tidak mengakui bahwa anak mengalami keterlambatan bicara.


Pendekatan lainnya adalah dengan deteksi aktif yang dapat dilakukan dokter atau dokter spesialis anak. Deteksi aktif ini dengan membandingkan kemampuan seorang anak dapat melakukan peningkatan perkembangan yang sesuai dengan baku untuk anak seusianya. Pendekatan kedua juga mempunyai kelemahan yaitu akan terlalu banyak anak yang diidentifikasi sebagai "abnormal" karena banyak gangguan perilaku penderita autis pada usia di bawah 2 tahun juga dialami oleh penderita yang normal. Sehingga beberapa klinisi bila kurang cermat dalam melakukan deteksi aktif ini dapat mengalami keterlambatan dalam penegakkan diagnosis. Tampaknya peranan orangtua sangatlah penting dalam mendeteksi gejala autis sejak dini. Orangtua harus peka terhadap perkembangan anak sejak lahir. Kepekaan ini tentunya harus ditunjang dengan peningkatan pengetahuan tentang perkembangan normal pada anak sejak dini. Informasi tersebut saat ini sangat mudah didapatkan melalui media cetak seperti buku kesehatan populer, koran, tabloid, majalah dan media elektronik seperti televisi, internet dan sebagainya. Orang tua juga harus peka terhadap kecurigaan orang lain termasuk pengasuh, nenek, kakek karena mereka sedikitnya telah mempunyai pengalaman dalam perawatan anak.


Peranan orang tua untuk melaporkan kecurigaannya dan peran dokter untuk menanggapi keluhan tersebut sama pentingnya dalam penatalaksanaan anak. Bila dijumpai keterlambatan atau penyimpangan harus dilakukan pemeriksaan atau menentukan apakah hal tersebut merupakan variasi normal atau suatu kelainan yang serius. Jangan berpegang pada pendapat :"Nanti juga akan membaik sendiri" atau "Anak semata-mata hanya terlambat sedikit" tanpa pemeriksaan yang cermat. Akibat yang terjadi diagnosis yang terlambat dan penatalaksanaan yang semakin sulit. Langkah yang harus dilakukan adalah dengan melakukan uji tapis atau skrining gangguan perilaku atau autis pada anak yang dicurigai yang dapat dilakukan oleh dokter.


Kemampuan penilaian skrining Autis ini hendaknya juga harus dipunyai oleh para dokter umum atau khususnya dokter spesialis anak. Dokter hendaknya harus cermat dalam melakukan penilaian skrening tersebut. Bila mendapatkan konsultasi dari orangtua pasien yang dicurigai Autis atau gangguan perilaku lainnya sebaiknya dokter tidak melakukan penilaian atau advis kepada orangtua sebelum melakukan skrining secara cermat. Banyak kasus dijumpai tanpa pemeriksaan dan penilaian skrening Autis yang cermat, dokter sudah berani memberikan advis bahwa masalah anak tersebut adalah normal dan nantinya akan membaik dengan sendirinya. Hambatan lainnya yang sering dialami adalah keterbatasan waktu konsultasi dokter, sehingga pengamatan skrening tersebut kadang sering tidak optimal. Orang tua sebaiknya tidak menerima begitu saja advis dari dokter bila belum dilakukan skrening Autis secara cermat. Bila perlu orangtua dapat melakukan pendapat kedua kepada dokter lainnya untuk mendapatkan konfirmasi yang lebih jelas.


Sebaliknya sebelum cermat melakukan penilaian, dokter sebaiknya tidak terburu-buru memvonis diagnosis Autis terhadap anak. Overdiagnosis Autis kadang menguntungkan khususnya dalam intervensi dini, tetapi dilain pihak juga dapat merugikan khususnya dalam menghadapi beban psikologis orang tua. Orangtua tertentu yang tidak kuat menghadapi vonis autis tersebut kadangkala akan menjadikan overprotected atau overtreatment kepada anaknya. Selain itu keadaan seperti itu dapat meningkatkan beban biaya pengobatan anak. Bukan menjadi rahasia lagi, bahwa orangtua penderita Autis sangat banyak mengeluarkan biaya konsultasi pada berbagai dokter, terapi okupasi, pemeriksaan laboratorium yang kadang mungkin belum perlu dilakukan.


Sumber :
American of Pediatrics, Committee on Children With Disabilities. Technical Report : The Pediatrician’s Role in Diagnosis and Management of Autistic Spectrum Disorder in Children. Pediatrics !107 : 5, May 2001) 2. Anderson S, Romanczyk R: Early intervention for young children with autism: A continuum-based behavioral models. JASH 1999; 24: 162-173. 3. APA: Diagnostic and statistic manual of mental disorders. 4th ed. Washington, DC: American Psychiatric Association; 1994. 4. Bettelheim B: The Empty Fortress: Infantile Autism and the Birth of the Self. New York, NY: Free 5. www.autisme.or.id 6. www.sinarharapan.co.id. 7. autism.blogsome.com